Indonesia merupakan Negara Muslim terbesar di dunia. Berdasarkan data ibtimes.id, presentase jumlah Muslim di Indoensia sebesar 13% dari populasi Muslim dunia. Hingga 2020, diperkirakaan penduduk Indonesia yang memeluk agama Islam berjumlah 263 juta jiwa. Maka kebutuhan perlindungan atas konsumsi Produk Halal menjadi suatu keniscayaan, mengingat kewajiban ini telah diatur syariat agama. Dahulu berkaitan keamanan utamanya label produk halal hanya diatur terbatas dalam beberapa regulasi diantaranya: UU 23/1992 tentang Kesehatan (UU Kesehatan Lama), UU 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU Perlindungan Konsumen) dan UU 7/1996 tentang Pangan (UU Pangan Lama).
Negara kemudian menjamin kemerdekaan beribadah umat Islam atas jaminan Produk Halal lebih khusus melalui UU 33/2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH) dan PP 31/2019 sebagai peraturan pelaksana UU JPH. Kehadiran peraturan secara lebih komprehensif ini penting mengingat pergeseran pengolahan pangan yang semula bersifat sederhana berkembang lebih maju dan variatif seiring kemajuan teknologi. Pemanfaatan teknologi ini memungkinkan percampuran bahan baku halal dan haram baik disengaja maupun tidak. Kajian jaminan Produk Halal yang diatur dalam muatan UU JPH antara lain meliputi: Definisi Produk Halal, Proses Produk Halal, Sertifikat Halal, Lembaga-lembaga Penyelenggara dan Pemeriksa Halal, serta Sanksi Pidana dan Administrasi atas Pelanggaran Peraturan Perundang-undangan.
Melalui UU JPH, pembentuk hukum mengatur agar setiap produk yang masuk, beredar dan diperdagangkan di wilayah NKRI untuk wajib bersertifikat halal (Pasal 4 UU JPH). Namun, aturan ini dikecualikan bagi para Pelaku Usaha yang memproduksi produk dari bahan yang diharamkan, dengan syarat mencantumkan keterangan tidak halal pada produk (Pasal 26 ayat (1) UU JPH juncto Pasal 2 ayat (2), (3) PP 31/2019). Kewajiban sertifikasi halal ini berlaku selama 5 (lima) tahun semenjak UU JPH diundangkan (Pasal 67 ayat (1) UU JPH).
Suatu produk dinyatakan sebagai Produk Halal apabila sebelumnya telah memenuhi syariat Islam (Pasal 1 Angka 1 UU JPH). Adapun ketentuan produk yang wajib bersertifikasi halal berlaku baik Barang dan/atau Jasa (Pasal 68 ayat (1) PP 31/2019). Kualifikasi barang yang dimaksud dalam peraturan ini meliputi makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik dan barang gunaan yang dipakai, digunakan atau dimanfaatkan (Pasal 68 ayat (2) PP 31/2019).Sementara terhadap perdagangan jasa yang wajib bersertifikasi halal meliputi layanan usaha: penyembelihan, pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan dan penyajian (Pasal 68 ayat (3) PP 31/2019).
Pemenuhan kualifikasi Produk Halal atas bahan dalam proses produksi meliputi bahan baku, bahan olahan, bahan tambahan dan bahan penolong (Pasal 17 ayat (1) UU JPH), yang berasal dari:
- Hewan (kecuali bahan yang diharamkan menurut syariat Islam, antara lain: bangkai, darah, babi dan/atau hewan yang disembelih tidak sesuai syariat Islam)
- Tumbuhan (kecuali tumbuhan yang dapat memabukkan dan/atau membahayakan kesehatan)
- Mikroba (atas bahan yang berasal dari mikroba dan bahan yang dihasilkan melalui proses kimiawi, proses biologi atau proses rekayasa genetik dapat diharamkan, bila dalam proses produksinya terkontaminasi dengan bahan yang diharamkan)
- Bahan yang dihasilkan melalui proses kimiawi, proses biologi atau proses rekayasa genetik.
Rincian mengenai ketentuan daftar produk (baik barang dan/atau jasa) yang wajib bersertifikat halal dapat Anda pahami dalam SK Direktur LPPOM MUI SK11/Dir/LPPOM MUI/II/14 tentang Revisi Ketentuan Kelompok dan Jenis Produk Bersertifikat Halal MUI. Dalam surat edaran ini dimuat rincian daftar produk (barang dan/atau jasa) wajib bersertifikat halal kedalam 35 (tiga puluh lima) kelompok, antara lain:
- Kelompok daging (sembelihan dan unggas) dan produk daging olahan
- Kelompok ikan (termasuk udang, cumi, kepiting, dsb) dan produk olahan ikan.
- Kelompok susu dan produk susu olahan
- Kelompok telur dan produk olahan telir
- Kelompok tumbuhan dan produk tumbuhan olahan
- Kelompok tepung, pati dan produk turunan/olahannya
- Kelompok nasi dan lauk pauk,
dan sebagainya, serta Pelaku Usaha jasa yang bergerak dibidang:
- Kelompok restoran
- Kelompok rumah potong hewan
- Kelompok catering
- Kelompok dapur
Terhadap Pelaku Usaha yang memperdagangkan produk (barang) dengan bahan baku yang tidak kritis aspek kehalalannya (merujuk pada hasil kajian oleh LPPOM MUI), pemerintah mengatur mengenai rincian daftar bahan tidak kritis dalam SK Direktur LPPOM MUI SK12/Dir/LPPOM MUI/VI/20 tentang Daftar Bahan Tidak Kritis (Halal Positive List of Materials). Kemudahaan administrasi yang dapat Anda peroleh sebagai Pelaku Usaha yang menggunakan bahan baku yang termuat dalam Halal Positive List of Materials antara lain:
a. Pada proses seleksi bahan baru
Bahan yang termasuk dalam Halal Positive List of Materials sudah mendapatkan persetujuan penggunaan bahan dari LPPOM MUI secara otomatis sebelum digunakan.
b. Pada proses penerimaan bahan datang,
Bahan yang termasuk dalam Halal Positive List of Materials tidak perlu dilakukan pemeriksaan kesesuaian nama bahan, nama produsen dan negara asal.
c. Pada proses registrasi produk,
Bahan yang termasuk dalam Halal Positive List of Materials tidak memerlukan dokumen pendukung. Jika bahan tersebut menggunakan nama dagang yang tidak sama dengan nama bahan, maka dokumen spesifikasi bahan tetap diperlukan. Saat proses audit, auditor masih akan memeriksa dokumen pendukung bahan jika diperlukan.
Sebagai upaya perlindungan atas penggunaan daftar bahan baku pangan yang tidak memenuhi persyaratan kemanan, mutu dan gizi pangan, pemerintah melalui Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) juga menerbitkan PERKA BPOM 7/2018 tentang Bahan Baku Yang Dilarang Dalam Pangan Olahan. Dalam peraturan ini baik bahan baku yang berbentuk tunggal maupun campuran sintetik, yang dilarang diedarkan diwilayah NKRI adalah yang menggunakan:
- Bahan baku yang dapat mengganggu, meugikan dan/atau membahayakan
- Bahan baku yang mengandung narkotika, psikotropika, nikotin, tumbuhan yang dilindungi dan/atau senyawa yang dilindungi
Jika Anda adalah Pelaku Usaha dibidang kosmetika, maka mengenai penjelasan persyaratan mutu atas bahan kosmetika dapat Anda pahami melalui PERKA BPOM 18/2015 tentang Persyaratan Teknis Bahan Kosmetika. Lebih lanjut jika Anda adalah pihak distributor yang ditunjuk mengedarkan kosmetik impor diwilayah NKRI, terdapat pengecualian bagi bahan kosmetika berupa isopropylparaben, isobutylparaben, dan/atau benzylparaben dapat dinotifikasi di Indonesia kecuali jika bahan tersebut dilarang digunakan di negara asal.
Demikian ulasan mengenai kualifikasi produk halal menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia dan wajib ditaati para Pelaku Usaha. Dalam upaya menciptakan kenyamanan, keselamatan dan kemanan konsumen, maka kajian multidisplin, utamanya pengetahuan syariat terhadap Produk Halal, perlu dikembangkan seiring pergeseran pengolahan dan pemanfaatan bahan baku