Halal-nya Undang-Undang Cipta Kerja

Aspek Halal menjadi salah satu yang disorot di dalam Undang-Undang Cipta Kerja. Hal tersebut dikarenakan secara tidak langsung, Sertifikasi Halal menjadi kemudahan dalam berwirausaha terutama sektor produk konsumsi. Halal sendiri dapat menjadi izin edar yang memudahkan suatu produk masuk ke pasar seperti melalui minimarket dan supermarket semisal. Selain itu juga Sertifikasi Halal memudahkan penerimaan produk oleh masyarakat khususnya umat muslim. Dengan akseptasi pasar yang cepat memicu kesuksesan produk dan pada akhirnya menciptakan lapangan kerja baru karena perusahaan pasti memerlukan peran dari tenaga kerja/buruh. Sehingga luaran yang diharapkan, peran Sertifikasi Halal juga akan memudahkan terjadinya tujuan dari undang-undang ini yaitu membuka kesempatan kerja yang seluas-luasnya bagi masyarakat Indonesia. Nah kali ini kita akan membahas ketentuan Halal-nya Undang-Undang Cipta Kerja.

Halal: Perang Dingin Tanpa Ujung dan Tanpa Kejelasan

Sejak munculnya Undang-Undang Jaminan Halal, menimbulkan polemik antara pemerintah dengan Majelis Ulama Indonesia. Karena pada awalnya, penyelenggaraan Sertifikasi Halal dilakukan oleh Majelis Ulama Indonesia. Dan bukan rahasia umum lagi jika Sertifikasi Halal merupakan salah satu sumber pendapatan bagi Majelis Ulama Indonesia. Sehingga dengan adanya wacana perubahan kewenangan pemberian Sertifikasi Halal, tentunya akan mempengaruhi eksistensi dari Majelis Ulama Indonesia. Terlebih sedari dulu, Majelis Ulama Indonesia memiliki kewenangan untuk mengeluarkan fatwa tentang Halal. Terutama mengingat Indonesia adalah negara yang mayoritas Islam dan mengenai Halal merupakan perkara yang riskan.

Sehingga keberadaan MUI sendiri sangat membantu dan adanya perubahan kewenangan akan menimbulkan kekagetan seperti halnya perpindahan Pengadilan Agama dari Kementerian Agama ke Mahkamah Agung dua dekade silam. Polemik ini kemudian memunculkan tanggapan kontra terutama dari Majelis Ulama Indonesia dan pendukungnya. Dan setelah selama lima tahun berjalan ini, belum ada kejelasan bagaimana teknis kebijakan pemerintah walaupun sebenarnya pemerintah telah “memancing di air keruh” dalam penyelenggaraan Sertifikasi Halal ini. BPJPH yang berada dibawah Kementerian Agama pun masih belum benar-benar mampu menyelenggarakan Sertifikasi Halal dan malah melakukan partnership dengan swasta (Sucofindo). Hingga saat ini, Majelis Ulama Indonesia masih berwenang dan diakui bisa menyelenggarakan Sertifikasi Halal.

Ciptaker (Cipta Kerja) atau Ciptager (Cipta Geger)?

Belum tuntas polemik diatas, kebijakan pemerintah semakin menjadi-jadi melalui UU Ciptaker ini. Secara formal belum selesai, akan tetapi pemerintah telah membuat ketentuan yang “menyenangkan” khususnya bagi pengusaha. Yang paling menarik adalah adanya dukungan bagi pelaku Usaha Menengah dan Kecil (UMK) termasuk penyederhanaan dan percepatan proses perizinan, sertifikasi halal yang ditanggung pemerintah, dan sertifikasi halal yang sesuai standar halal BPJPH. Dalam upaya menjamin kemudahan bisnis produk Halal, pemerintah akan memperluas lembaga pemeriksa halal yang meliputi ormas islam dan perguruan tinggi negeri. Selain itu, BPJPH juga diamanatkan untuk mempercepat proses penerbitan Sertifikat Halalnya.

Akan tetapi, segala ketentuan yang terlihat seperti “janji” tersebut akan sulit direalisasikan karena masih terdapat kendala struktural dengan MUI. Poin pentingnya adalah, fatwa halal tetap dikeluarkan oleh MUI. Dan apabila MUI tidak menerbitkan fatwa halal dalam jangka waktu yang sudah ditentukan, BPJPH akan mempercepat penetapan fatwa halal tersebut. Jika dipikirkan, konsepnya terlihat seperti pembentukan undang-undang antara DPR dan Presiden. Akan tetapi di titik tertentu, pembentukannya dapat dipercepat oleh salah satu pihak. Menurut admin, hal ini cukup riskan karena terlihat mendegradasi peran MUI sendiri. Mengingat hingga saat ini, MUI sendiri belum sepakat adanya pemindahan kewenangan penyelenggaraan Sertifikasi Halal ke BPJPH. Dengan alasan yang tentu saja klasik, logis dan realistis: Finansial.

Jika sudah begini, yang menjadi “korban” tentu saja pengusaha terutama pelaku UMK yang pastinya sangat menginginkan “janji manis” UU Ciptaker. Sepertinya mereka harus menunggu beberapa tahun lagi untuk menikmati kemudahan ketentuan Halal-nya Undang-Undang Cipta Kerja.

#TerbaikTercepatTerpercaya

#KlinikHukumTerpercaya

#SemuaAdaJalannya

    Leave Your Comment

    Your email address will not be published.*

    This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed .

    Latest Posts

    Start WA
    1
    Contact Us
    Hello Rencang, is there anything we can help with?