Pancasila sebagai dasar negara Indonesia sekaligus ideologi bangsa bukan sebagai konsep yang muncul begitu saja dari ruang kosong. Terdapat perjalanan yang mengiringi lahirnya Pancasila, yang bahkan dapat dilacak implementasi nilainya jauh sebelum kemerdekaan Indonesia. Nilai esensial yang terkandung dalam Pancasila telah ada sejak zaman kerajaan. Misalnya nilai dalam sila pertama yang dilihat dari kebudayaan yang dianut pada zaman Kerajaan Kutai yang menjunjung tinggi nilai keagamaan dengan adanya ritual seperti kenduri dan memberi sedekah kepada Brahmana. Nilai dalam sila kedua ada pada hubungan perdagangan yang dilakukan oleh Raja Airlangga dari Kerajaan Kahuripan. Sumpah Palapa oleh Mahapatih Gadjah Mada dari Kerajaan Majapahit terdapat nilai yang terkandung dalam sila ketiga. Begitu juga musyawarah sebagai salah satu nilai sila keempat yang juga dilakukan pada masa Kerajaan Kahuripan dalam bentuk musyawarah antara Raja dan elemen rakyat. Implementasi nilai sila kelima dapat terlihat dari adagium Kerajaan Sriwijaya yaitu “marvuat vanua Criwijaya siddhayatra subhiksa” atau suatu cita-cita negara yang adil dan makmur.[1]
Nilai-nilai Pancasila juga dapat ditelusuri ketika Indonesia memasuki zaman penjajahan oleh bangsa asing baik Portugis, Spanyol, Belanda hingga Jepang. Perlawanan yang dikobarkan oleh rakyat dengan semangat persatuan akan kesamaan kondisi senasib dan sepenanggungan atas kebijakan-kebijakan penjajah yang banyak merugikan bangsa Indonesia, merupakan refleksi dari semangat nilai persatuan dalam sila ketiga. Semangat itu terus digelorakan hingga bangsa ini memasuki zaman Kebangkitan Nasional yang ditandai dengan kemunculan organisasi pergerakan seperti Sarekat Dagang Islam, Indische Partij dan lain sebagainya, serta lahirnya tokoh pergerakan seperti HOS Cokroaminoto, Soekarno, Moh. Hatta, Muh. Yamin, hingga momentum BPUPKI dan PPKI.[2]
Ideologi Pancasila sendiri mulai dikonkritisasi secara formal pada saat dan sejak tanggal 1 Juni 1945, di hari keempat Sidang Kesatu Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) atau secara resmi bernama Dokuritsu Jumbi Cosakai dalam sebuah pidato tanpa teks oleh Soekarno mengenai Dasar Indonesia Merdeka. Lima dasar yang diusulkan oleh Soekarno meliputi Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme atau Perikemanusiaan, Mufakat atau Demokrasi, Kesejahteraan Sosial, dan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pada awalnya lima dasar tersebut akan disebut sebagai Panca Dharma, namun kemudian menggunakan petunjuk seorang ahli bahasa sehingga menjad Pancasila. Istilah tersebut diterima baik, namun secara substansial belum diterima sepenuhnya karena dalam pidatonya, Soekarno adalah perumus, penyambung lidah dari keinginan dan peasaan yang sudah lama terpendam, bisu dalam jiwa dan kalbu rakyat Indonesia turun temurun. Usaha penggalian makna terdalam dari Pancasila juga dilakukan oleh Founding Fathers Bangsa Indonesia lain yaitu Moh. Yamin pada tanggal 29 Mei 1945 dan Soepomo pada 31 Mei 1945.[3]
BPUPKI berupaya mempermudah usaha perumusan Pancasila dengan membentuk dua panitia yang bertugas untuk merumuskan dasar negara Indonesia yaitu Panitia 8 dan Panitia 9. Panitia 8 diketuai oleh Soekarno, yang mana panitia ini bertugas untuk menginventarisasi usul-usul dari para anggota, yang dalam praktiknya ternyata juga menjadi ajang kompromi dalam merumuskan dasar negara dan undang-undang dasar negara. Sedangkan Panitia 9 yang juga diketuai oleh Soekarno kemudian bekerja untuk merumuskan mukadimah atau pembukaan undang-undang dasar dengan mencari dan memperhatikan kompromi atas berbagai pendapat yang berkembang, yang kemudian Panitia 9 ini melahirkan Piagam Jakarta 22 Juni 1945 yang monumental. Pengukuhan Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi bangsa diformalkan dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1957. Sebelumnya, Pancasila juga diterima sebagai dasar negara serta telah mengalami pengesahan pada 18 Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) atau secara resmi bernama Dokuritsu Junbi Inkai. [4]
[1] Kaelan, Pendidikan Pancasila, Penerbit Paradigma, Yogyakarta, 2010, Hlm.29-32.
[2] Kaelan, Ibid., Hlm.33-50.
[3] Burhanuddin Salam, Filsafat Pancasilaisme, Penerbit Rineka Cipta (Anggota IKAPI), Jakarta, 1996, Hlm.3-7.
[4] Dedi Mulyadi, Internalisasi Nilai-Nilai Ideologi Pancasila, Penerbit Refika Aditama (Anggota IKAPI), Bandung, 2014, Hlm.6-7.
Melayani segala pengurusan legalitas usaha seperti Pengurusan Izin Usaha, Sertifikasi Halal, BPOM, Pendaftaran Merek, Pendirian PT dan CV serta Pembuatan Perjanjian
#TerbaikTercepatTerpercaya
#KlinikHukumTerpercaya