GAds

Kedudukan Hukum Tanah Adat

Hukum adat tidak lepas dari perkembangan hukum dan sosial di suatu negara, termasuk Indonesia. Umumnya sumber hukum adat berasal dari hukum tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang, serta dipertahankan dengan kesadaran hukum dalam masyarakatnya sehingga hukum adat memiliki kemampuan untuk menyesuaikan diri dan fleksibel. Hukum adat memiliki peran yang sangat penting dalam membangun hukum nasional, maka hal tersebut diwujudkan dengan adanya di dalam konstitusi Indonesia Pasal 18B Ayat (20) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUDNRI) Tahun 1945 yang berbunyi, “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.” Soepomo mengatakan bahwa hukum adat merupakan suatu hukum yang hidup karena ia menjelmakan perasaan umum yang nyata dari rakyat. Oleh karenanya dengan didukungnya dari kedua hal tersebut, maka hukum adat menjadi tolok ukur yang besar dalam pembangunan negara.

Sifat dan corak hukum adat akan timbul dan menyatu dalam kehidupan bermasyarakat karena hukum hanya akan berjalan efektif dengan adanya kultur dan corak kehidupan bermasyarakat. Pola pikir dan paradigma berpikir adat masih mengakar dalam kehidupan masyarakat sehari-hari meskipun sudah memasuki kehidupan dan aktifitas yang serba modern. Soepomo dalam bukunya berjudul “Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri” cetakan ke-16 tahun 2004 membagi sistem hukum adat yang berlaku di Indonesia menjadi tiga kelompok, yaitu:

  1. Hukum adat mengenai tata negara;
  2. Hukum adat mengenai warga (hukum pertalian sanak, hukum tanah, hukum perhutangan); dan
  3. Hukum adat mengenai delik (hukum pidana).

Tanah merupakan hal yang sangat penting dalam Hukum Adat (bisa disebut sebagai Hukum Tanah Adat). Hubungan antara manusia dengan tanah sangat terkait yaitu tanah sebagai tempat manusia untuk menjalani dan melanjutkan kehidupannya. Tanah adat merupakan milik dari masyarakat hukum adat yang sejak dulu sudah dikuasai. Negara yang rakyatnya memiliki hasrat melaksanakan demokrasi yang berkeadilan sosial, pemanfaatan tanah untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat merupakan syarat mutlak (conditio sine qua non), sehingga untuk mencapai tujuan tersebut, maka diperlukan campur tangan penguasa yang berkompeten dalam urusan tanah, khususnya terkait lahirnya, berpindah, dan berakhirnya hak milik atas atas tanah.

Sebelum lebih lanjut menjelaskan mengenai hukum tanah adat, terlebih dahulu dijelaskan tentang hukum adat itu sendiri. Van Vollenhoven mengatakan bahwa hukum adat adalah himpunan peraturan tentang perilaku yang berlaku bagi orang pribumi dan timur asing pada satu pihak yang memiliki sanksi (karena bersifat hukum) dan pada pihak lain berada dalam keadaan tidak dikodifikasikan (karena adat). Soepomo mengatakan bahwa hukum adat adalah sinonim dari hukum uang tidak tertulis di dalam peraturan legislatif (statuary law), hukum yang hidup sebagai konvensi di badan-badan hukum Negara (Parlemen, Dewan Provinsi, dan sebagainya), dan hukum yang hidup sebagai peraturan kebiasaan yang dipertahankan di dalam pergaulan hidup, baik di kota maupun di desa-desa. Beberapa pengertian tersebut menujukkan bagaimana hukum adat dalam perkembangannya serta kemampuan untuk menyesuaikan dengan kebutuhan dan tuntutan dalam masyarakat yang akan terus berubah.

Hukum Tanah Adat adalah keseluruhan kaidah hukum yang tumbuh dari pergaulan hidup antar manusia yang terkait dengan pemanfaatan mengenai masalah tanah. Hukum Tanah Adat terdapat kaidah-kaidah hukum yang keseluruhannya tumbuh dan berkembang di dalam pergaulan hidup antar sesama manusia, serta sangat berhubungan erat dengan pemanfaatan sekaligus meghindarkan perselisihan tanah sebaik-baiknya. Inilah yang diatur dalam Hukum Tanah Adat dan akan timbul hak dan kewajiban terkait dengan hak-hak yang ada di atas tanah.

Marwan dan Prastowo mengatakan bahwa hukum adat di Indonesia memiliki dua macam hak yang timbul atas tanah, yaitu:

  1. Hak Persekutuan

Yaitu hak yang dimiliki, dikuasai, dimanfaatkan, dinikmati, diusahakan oleh sekelompok manusia yang hidup dalam suatu wilayah tertentu (masyarakat/persekutuan hukum). Hak ini juga bisa disebut dengan hak ulayat, hak dipertuan, hak purba, hak komunal, atau beschikingsrecht.

  1. Hak Perseorangan

Yaitu hak yang dimiliki, dikuasai, dimanfaatkan, dinikmati, diusahakan oleh seseorang anggota dari persekutuan tertentu.

Dalam hal Hak Persekutuan Atas Tanah, wilayah persekutuannya meliputi:

  1. Kewenangan persekutuan untuk memanfaatkan bidang tanah tertentu untuk keperluan persekutuan, kantor lembaga adat, tempat ibadah, jalan, saluran irigasi, dll.
  2. Kewenangan persekutuan untuk mengatur pencadangan, serta pemanfaatan seluruh bidang tanah dalam wilayah persekutuan.
  3. Kewenangan persekutuan untuk mengizinkan warga persekutuan membuka/mengolah/memanfaatkan sebidang tanah tertentu, sehingga warga tersebut memperoleh hak perorangan.
  4. Kewenangan persekutuan untuk mengurus dan mengatur peralihan bidang tanah dalam wilayah persekutuan, baik antar warga persekutuan, maupun pihak dari luar.

Hak Perseorangan Atas Tanah merupakan kewenangan dari anggota persekutuan atas bidang tanah tertentu dari wilayah persekutuan dengan memungut hasil seperti mengambil kayu, rotan, damar, gaharu, ikan, binatang liar dalam wilayah persekutuannya. Dengan adanya izin persekutuan, mereka dapat membuka dan mengusahakan terus menerus bidang tanah tertentu dalam wilayah persekutuan seperti pemukiman, sawah, tambak, toko, serta melakukan transaksi tanah dan transaksi tanah yang berhubungan antara tanah dengan berbagai pihak.

Banyak perbedaan prinsip antara hukum tanah adat regional dan hukum agraria nasional yang sewaktu-waktu rawan terjadi konflik. Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) menyebutkan bahwa hukum adat dijadikan landasannya, sedangkan hak ulayat merupakan salah satu dari lembaga-lembaga hukum adat yang kemudian dikembangkan kepada fungsi sosial dari hak-hak atas tanah. Pasal 5 UUPA mengatakan bahwa, “Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air, dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-undang ini dan  dengan peraturan perundangan lainnya, segal sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.”

Mukadimah UUPA 1960 mengatakan bahwa, “Berhubungan dengan apa yang tersebut dalam pertimbangan-pertimbangan di atas perlu adanya Hukum Agraria Nasional, yang berdasar atas hukum adat tentang tanah, yang sederhana dan menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia, dengan tidak mengabaikan unsur-unsur yang berstandar pada hukum agama”. Hal ini berarti dengan berlakunya UUPA 1960, meniadakan dualisme hukum pertanahan dengan menundukkan kembali hukum adat pada tempatnya sebagai landasan utama Hukum Agraria Nasional. Hukum Agraria Nasional yang dimaksud berdasarkan hukum tanah adat yang bersifat nasional, bukan hukum tanah adat yang bersifat kedaerahan atau regional. Dengan demikian, untuk menciptakan Hukum Agraria Nasional, maka diperukan bentuk atau format secara umum dari hukum adat yang berlaku secara menyeluruh untuk meminimalkan terjadinya konflik pertanahan dalam lapangan hukum tanah adat.

Motif dari adanya Hukum Agraria Nasional dengan UUPA Tahun 1960 sebagai induknya yaitu mengurangi konflik pertanahan yang dapat timbul akibat penerapan hukum tanah adat yang bersifat kedaerahan.

Setelah berlakunya UUPA di Indonesia, tanah adat mengalami perubahan. Segala sesuatu yang bersangkutan dengan tanah adat (hak ulayat, jual beli tanah, dsb) mengalami perubahan. Apabila sebelum berlakunya UUPA hak ulayat masih milik persekutuan hukum adat setempat yang telah dikuasai sejak lama dari nenek moyang mereka, maka setelah berlakunya UUPA hak ulayat masih diakui. Dikatakan dalam Pasal 3 UUPA, “Hak ulayat dan hak-hak yang serupa dari masyarakat hukum adat masih diakui sepanjang dalam kenyataan di masyarakat masih ada”. Bila terjadi proses individualis terhadap hak ulayat mulai mendesak, maka dapat memberikan pengakuan secara khusus terhadap hak-hak perorangan. Semakin bertumbuh dan bertambah kuatnya hak-hak yang bersifat perorangan dalam masyarakat hukum adat, maka hak ulayat kian menipis. Hak ulayat diakui Pemerintah sepanjang keberadaannya masih ada. Bila sudah ada, maka tidak perlu lagi membuat hak ulayat yang baru.

    Leave Your Comment

    Your email address will not be published.*

    This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed .

    Start WA
    1
    Contact Us
    Hello Rencang, is there anything we can help with?