Overclaim dalam Iklan Skincare: Pelanggaran Perlindungan Konsumen atau Hak Cipta?

Overclaim dalam Iklan Skincare: Pelanggaran Perlindungan Konsumen atau Hak Cipta?

Industri skincare berkembang sangat cepat dalam sepuluh tahun terakhir. Persaingan antar brand yang begitu ketat membuat banyak pelaku usaha berlomba-lomba menonjolkan keunggulan produknya melalui iklan yang meyakinkan, bahkan sering kali terlalu meyakinkan. Di titik inilah muncul fenomena overclaim, yaitu pernyataan berlebihan tentang manfaat atau efektivitas skincare yang tidak dapat dibuktikan secara memadai.

Overclaim tidak hanya memicu pembahasan mengenai etika pemasaran, tetapi juga menimbulkan dua persoalan hukum sekaligus: apakah ia termasuk pelanggaran terhadap perlindungan konsumen, atau justru pelanggaran terhadap hak kekayaan intelektual, khususnya hak cipta? Artikel ini mengulas bagaimana dua rezim hukum tersebut dapat bertemu pada satu titik.

Memahami Overclaim dalam Iklan Skincare

Dalam ranah kosmetik, overclaim merujuk pada penyampaian manfaat produk yang tidak sesuai dengan kenyataan. Klaim seperti “mencerahkan dalam satu hari”, “menghilangkan jerawat secara permanen”, atau “memberikan hasil setara perawatan laser” merupakan contoh klasik yang kerap ditemui. Klaim-klaim tersebut biasanya tidak memiliki dasar ilmiah yang cukup, tetapi digunakan untuk menciptakan persepsi bahwa produk mampu memberikan hasil luar biasa dalam waktu singkat.

Di balik itu, ada pula klaim ilmiah yang dikemas sedemikian rupa untuk meyakinkan konsumen, misalnya mencantumkan istilah teknis atau kalimat bernada penelitian. Beberapa iklan menggunakan istilah seperti “uji klinis”, “terbukti secara ilmiah”, atau “direkomendasikan ahli dermatologi”, padahal data pendukungnya tidak ada. Aspek inilah yang membuat overclaim menimbulkan kerancuan antara fakta dan imajinasi promosi.

Overclaim dalam Perspektif Perlindungan Konsumen

Dalam konteks perlindungan konsumen, overclaim dikategorikan sebagai tindakan yang dapat menyesatkan atau merugikan konsumen karena informasi yang diberikan tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen secara tegas melarang setiap pelaku usaha mempromosikan barang atau jasa melalui pernyataan yang menipu atau tidak benar. 

Pasal 9 ayat (1) huruf k UU Perlindungan Konsumen melarang pelaku usaha membuat klaim yang “dijanjikan tetapi tidak sesuai dengan kenyataannya”. Ini berarti setiap pernyataan yang tidak dapat dibuktikan secara objektif dapat dianggap sebagai pelanggaran hukum. 

Selain itu, Pasal 10 menegaskan bahwa pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, atau mengiklankan barang dan jasa secara tidak benar, seolah-olah barang tersebut telah memenuhi standar tertentu. Dari perspektif sanksi, Pasal 62 memberikan dasar ancaman pidana bagi pelaku usaha yang melanggar ketentuan iklan menyesatkan, dengan ancaman pidana penjara hingga 5 tahun atau denda maksimal Rp2 miliar. 

Secara perdata, konsumen juga berhak menuntut ganti rugi apabila terbukti mengalami kerugian karena mengandalkan klaim tidak benar tersebut. Dalam praktiknya, aspek hukum perlindungan konsumen menilai overclaim berdasarkan beberapa kriteria: kejelasan informasi, tingkat kesesuaian antara klaim dan bukti ilmiah, serta dampak yang mungkin timbul dari kesalahan persepsi konsumen. Ini membuat produsen wajib memastikan setiap klaim baik berupa manfaat bahan aktif maupun janji hasil memiliki dasar ilmiah yang dapat diuji.

Keterkaitan Overclaim dengan Hak Cipta

Meskipun lebih sering dibahas dalam konteks perlindungan konsumen, overclaim juga dapat menyentuh ranah hak cipta. Hal ini terjadi ketika suatu overclaim menggunakan konten yang tidak sah, seperti materi uji klinis, hasil penelitian, atau karya ilmiah milik pihak lain tanpa izin, kemudian dipakai untuk mendukung klaim produk. 

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta memberikan perlindungan atas karya ilmiah, data, tulisan, grafik, foto, video, maupun desain yang digunakan dalam proses promosi. Pasal 1 angka 1 UU Hak Cipta menyebutkan bahwa setiap ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra memiliki perlindungan eksklusif bagi penciptanya. Ini berarti, penggunaan grafik uji klinis, desain brosur, atau narasi ilmiah milik pihak lain tanpa izin dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hak cipta. 

Pasal 9 ayat (1) memberi hak eksklusif kepada pencipta untuk memperbanyak dan mengumumkan suatu ciptaan. Ketika pelaku usaha mengambil data ilmiah pihak lain untuk seolah-olah mendukung klaim produknya, tindakan tersebut dapat dianggap sebagai pengumuman dan penggunaan komersial tanpa izin. Jika pelanggaran terbukti, Pasal 113 UU Hak Cipta memberikan ketentuan sanksi pidana hingga 4 tahun penjara atau denda maksimal Rp1 miliar. 

Selain itu, pencipta atau pemegang hak cipta dapat menuntut ganti rugi secara perdata berdasarkan Pasal 95. Dalam konteks overclaim, aspek hak cipta menjadi penting terutama pada penggunaan materi kreatif seperti foto before-after milik orang lain, video testimoni yang tidak berizin, ilustrasi ilmiah, atau kutipan jurnal yang disalahgunakan untuk mendukung klaim berlebihan. Meski pelanggaran tersebut tidak terkait dengan substansi klaim produk, penggunaan karya tanpa izin tetap dapat menimbulkan konsekuensi hukum tersendiri.

Ketika Dua Pelanggaran Terjadi Bersamaan

Satu iklan skincare dapat menimbulkan dua pelanggaran sekaligus: menyesatkan konsumen dan melanggar hak cipta. Misalnya, sebuah brand mencantumkan klaim “hasil penelitian menyatakan 98 persen pengguna mengalami perbaikan kulit”, tetapi angka tersebut diambil dari jurnal milik orang lain yang ditampilkan secara tidak utuh dan tanpa izin. Klaim tersebut jelas menyesatkan konsumen; di sisi lain, penggunaan data atau grafik dari jurnal tersebut merupakan pelanggaran hak cipta.

Begitu pula dalam penyajian foto before after. Banyak brand mengambil foto orang asing dari internet, mengeditnya sedikit, lalu menambahkan klaim bahwa perubahan tersebut terjadi karena penggunaan produk tertentu. Secara substansi, klaim itu menipu konsumen karena hasil foto tidak mencerminkan kenyataan. Secara hukum kekayaan intelektual, penggunaan foto tanpa izin merupakan pelanggaran hak cipta. Satu tindakan, dua pelanggaran.

Baik pelanggaran perlindungan konsumen maupun pelanggaran hak cipta memiliki ketentuan pidana. Overclaim dapat dipidana apabila iklan mengandung unsur penipuan, merugikan konsumen, atau menggunakan keterangan palsu. Sementara itu, penggunaan karya orang lain tanpa izin untuk kepentingan komersial dapat dikenai ancaman pidana dalam Undang-Undang Hak Cipta.

Yang perlu dipahami adalah bahwa pelanggaran dari dua sektor ini dapat berjalan secara paralel. Pelaku usaha dapat dikenai tuntutan pidana dari dua rezim sekaligus apabila terbukti menyampaikan iklan yang menyesatkan sambil menggunakan materi hasil pelanggaran hak cipta.

Mengapa Overclaim Masih Sangat Marak?

Beberapa faktor membuat overclaim tetap menjadi praktik yang umum. Ketatnya persaingan industri membuat klaim agresif dianggap sebagai jalan pintas untuk menarik perhatian konsumen. Selain itu, banyak konsumen yang mudah percaya pada visual dramatis atau istilah teknis yang terdengar ilmiah. Dalam ranah influencer marketing, klaim dari figur publik sering diterima begitu saja tanpa verifikasi.

Kurangnya pemahaman regulasi juga berperan besar. Banyak pelaku usaha tidak memahami batas klaim kosmetik dan tidak mengetahui bahwa penggunaan foto, teks, atau materi visual tertentu membutuhkan izin. Celah inilah yang membuat pelanggaran berulang.

Upaya Menghindari Overclaim dan Pelanggaran HKI

Pelaku usaha dapat menghindari pelanggaran dengan memastikan bahwa seluruh klaim memiliki dasar pembuktian yang dapat dipertanggungjawabkan. Pemilihan kata dalam iklan harus dilakukan secara hati-hati untuk menghindari kesan medis atau absolut. Materi visual yang digunakan harus diperoleh secara legal, baik dibuat sendiri, dibeli lisensinya, atau diperoleh melalui kerja sama tertulis.

Transparansi menjadi prinsip utama. Iklan yang menyampaikan informasi apa adanya bukan hanya aman dari jerat hukum, tetapi justru lebih dipercaya oleh konsumen dalam jangka panjang.

Conclusion

Overclaim dalam iklan skincare bukan sekadar persoalan promosi yang berlebihan. Ia merupakan praktik yang berpotensi melanggar lebih dari satu aturan hukum. Dari sisi perlindungan konsumen, overclaim dapat menyesatkan dan merugikan masyarakat. Dari sisi hak cipta, penggunaan materi pendukung tanpa izin untuk memperkuat klaim dapat menghasilkan pelanggaran hak cipta dan hak moral.

Kecermatan dalam menyusun klaim dan kehati-hatian dalam menggunakan materi visual atau ilmiah menjadi kunci agar sebuah brand tidak terjebak dalam dua pelanggaran sekaligus. Semakin banyak pelaku usaha memahami hal ini, semakin sehat pula ekosistem industri skincare di Indonesia.

Untuk kamu yang sedang mengalami struggling dalam mempromosikan produkmu, alangkah baiknya untuk mengkonsultasikan terlebih dahulu ke Klinik Hukum Rewang-Rencang agar terhindar dari jerat hukum. Konsultasikan secara gratis.

 

    Leave Your Comment

    Your email address will not be published.*

    This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed .

    Latest Posts

    Start WA
    1
    Contact Us
    Hello Rencang, is there anything we can help with?