GAds

Saksi Testimonium De Auditu

Pada Pasal 1 angka 26 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau yang lebih dikenal dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri. Rumusan tentang saksi tersebut merupakan rumusan asli yang terdapat dalam Pasal 1 angka 26 KUHAP. Dilanjutkan dalam Pasal 1 angka 27 yang menyatakan bahwasannya Keterangan Saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dan pengetahuannya itu.

Definisi mengenai sanksi tersebut ternyata bersifat limitatif dan memiliki kekurangan yang cukup vital jika dikaji dengan lebih komprehensif. Terutama apabila seseorang memiliki pengetahuan yang relevan terkait suatu kejadian pidana namun tidak secara langsung melihat, mendengar dan merasakan tindak pidana tersebut. Hal tersebut yang mendorong Yusril Ihza Mahendra mengajukan permohonan judicial review atau uji materi pasal-pasal yang berkaitan dengan saksi ke Mahkamah Konstitusi, khususnya Pasal 1 angka 27 KUHAP.

Yusril Ihza Mahendra mengajukan judicial review tersebut karena merasa hak dasarnya terlanggar sebagai tersangka dugaan korupsi biaya akses fee Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Sistem Administrasi Badan Hukum (Sisminbakum) yang saat itu ditangani oleh Kejaksaan Republik Indonesia. Yusril Ihza Mahendra bermaksud menghadirkan saksi-saksi yang menguntungkan yaitu Susilo Bambang Yudhoyono, Megawati Soekarnoputri, Jusuf Kalla, dan Kwik Kian Gie. Namun permohonan mendatangkan saksi yang menguntungkan tersebut ditolak oleh Kejaksaan Republik Indonesia dengan dalih tidak terkualifikasi sebagai saksi menurut konsepsi saksi dalam Pasal 1 angka 26 dan 27 KUHAP. Menurut Kejaksaan Republik Indonesia, terdapat kemungkinan saksi yang dihadirkan menerangkan kesaksian berdasarkan testimonium de auditu atau bisa jadi sekedar kesaksian berdasarkan kabar burung belaka.

 

Maka jika ditinjau memang sulit apabila seseorang yang seharusnya memiliki hak untuk menghadirkan saksi terutama saksi yang seharusnya menguntungkan baginya namun terhalang dengan limitasi konsepsi saksi yang telah secara eksplisit dituliskan dalam Pasal 26 dan 27 KUHAP karena kualifikasi saksi yang terdapat dalam ketentuan tersebut hanyalah saksi yang melihat, mendengar dan/atau merasakan langsung kejadian tindak pidana, terlebih tindak pidana yang cara pemeriksaannya termasuk pemeriksaan biasa yang pembuktiannya sulit dan rumit. Dalam artian tidak seperti tindak pidana yang lebih mudah pembuktiannya karena secara langsung terjadi di lapangan seperti pencurian, pembunuhan, dan lain sebagainya. Pembatasan dalam ketentuan pasal mengenai saksi tersebut telah menghambat dan bahkan menghilangkan kesempatan terdakwa untuk menghadirkan saksi yang dianggap menguntungkan atau yang dikenal sebagai saksi alibi karena saksi yang dapat diajukan hanya sebatas saksi fakta yang belum tentu bersifat menguntungkan bagi terdakwa.

Dalam legal standingnya, Yusril memberikan contoh sebagai berikut: “misalnya seseorang yang bernama Ahmad, tiba-tiba ditangkap polisi dengan tuduhan merampok dan membunuh pemilik toko emas di Pasar Baru hari Jum’at sore 22 Oktober 2010 sekitar maghrib. Ada sepuluh saksi yang mengaku melihat Ahmad melakukan perampokan dan pembunuhan itu. Senjata milik Ahmad tertinggal di toko itu. Sidik jari Ahmad juga ditemukan di sana. Kalau sudah begini, Ahmad tentu sudah tidak berkutik menghadapi polisi. Tetapi Ahmad menyangkal melakukan perampokan dan pembunuhan. Pada Jumat sore 22 Oktober 2010 dia menjadi imam shalat maghrib di Mesjid Pondok Indah dan sesudah itu memberi kultum kepada jama’ah. Ahmad minta kepada polisi agar pengurus masjid dan beberapa jamaah yang mendengar kultumnya itu diperiksa sebagai saksi yang menguntungkan untuk mendukung kebenaran alibinya. Tapi penyidik menolak dengan alasan tidak relevan, sebab saksi-saksi yang menguntungkan itu tidak ‘melihat sendiri, mendengar sendiri dan mengalami sendiri’ perampokan dan pembunuhan yang Ahmad lakukan di Pasar Baru, karena pada saat perampokan dan pembunuhan terjadi, mereka berada di Pondok Indah. Kalau definisi saksi seperti ini, hampir dapat dipastikan Ahmad akan dihukum, bahkan mungkin dengan hukuman mati.”

Yusril menganggap kondisi tersebut justru akan menjadikan terdakwa sebagai korban kesewenang-wenangan aparatur penegak hukum dan diperlakukan secara tidak adil dan zalim. Sehingga kemudian Mahkamah Konstitusi melalui putusan uji mater (judicial review) peraturan perundang-undangan dengan nomor register perkara Nomor 65/PUU-VIII/2010 mengabulkan permohonan Yusril Ihza Mahendra dan secara konstitusi memutuskan Pasal 1 angka 26, Pasal 1 angka 27, Pasal 65, Pasal 116 ayat (3), Pasal 116 ayat (4), serta Pasal 184 ayat (1) huruf A KUHAP bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan dinyatakan tidak berlaku lagi serta tidak lagi memiliki kekuatan hukum yang mengikat.

Sehingga saat ini dengan adanya penyesuaian kondisi ketatanegaraan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung melalui putusan uji materinya (judicial review) KUHAP terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengubah konsepsi mengenai saksi dari yang awalnya hanya saksi fakta yang dapat dihadirkan, dalam artian saksi yang melihat, mendengarkan dan merasakan langsung tindak pidana, konsepsi tersebut berubah dengan adanya penambahan meliputi orang yang tidak melihat, mendengar dan merasakan secara langsung namun tetap memiliki pengetahuan yang relevan terkait tindak pidana atau tuduhan tindak pidana yang diperkarakan. Namun untuk kedepannya mungkin akan muncul perdebatan mengenai “pengetahuan yang relevan” karena kualifikasi tersebut merupakan kualifikasi yang subjektif, karena bisa jadi kesaksian seseorang termasuk testimonium de auditu. Meskipun pada kenyataannya ternyata putusan uji materi Nomor 65/PUU-VIII/2010 sulit diimplementasikan karena banyak hakim yang tidak terlalu menganggap putusan tersebut harus eksekutorial dalam suatu perkara yang sedang ditangani sehingga secara konsep mengenai saksi ini berubah menjadi lebih luas namun dalam kenyataannya di lapangan masih belum diterapkan secara maksimal oleh hakim di Indonesia.

    Leave Your Comment

    Your email address will not be published.*

    This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed .

    Start WA
    1
    Contact Us
    Hello Rencang, is there anything we can help with?